Senin, 15 Agustus 2016

PART I

Maaf kalo saya bawa flashback dulu ke masa masa sekolah saya.

Saya adalah anak yang kuper pas kelas X dulu. Saya lebih suka makan bekel di kelas waktu istirahat atau beli danusan DKM daripada harus jajan di kantin yang pengap dan bau hahaha.Saya hanya ikut 2 ekstrakurikuler yang masih aja saya gabutin. Di akhir-akhir baru masuk DKM. HP saya masih stupidphone or lemotphone yang susah buka internet. Alhasil saya jadi rajin belajar karena tidak ada distraksi dari mana mana hahaha. Saya juga gak les, jadi bisa dipastikan teman teman saya hanya itu itu saja. Banyak yang tidak tahu saya ada di smansa. Sampe dikira anak pindahan... sedih emang L

Saat kelas XI, saya kecemplung di IPA 4 yang isinya anak populer semua. Saya hanya butiran debu di sini ahaha lebay. Saya sadar ke mana aja saya 1 tahun kemarin kok lebih banyak gak tahunya dibanding tahunya. Mulailah saya mengenal banyak orang dan lebih open-minded. Ternyata seru juga. Saya pilih tempat les yang teman-teman dekat saya gak ada di sana selain karena kemakan brosur sih. Inisial tempat lesnya US. HAHAHA cacit. Demi mencari kenalan baru. Bener-bener nekat. Ternyata isinya ngaco semua. Haha canda kok.

Nah di sini awal mula saya ketagihan organisasi. Karena ini hal baru, saya sebegitu excitednya sampai rapor semester 3 saya jeblok sejeblok-jebloknya. Semester 4 saya mencoba membalik keadaan meskipun membaik namun masih jauh dari standar saya. Saya merasa ini jauh dari kata memuaskan. Meskipun begitu, saya tidak pernah menyesal bergabung organisasi ini justru sebaliknya sangat bersyukur.

Sampai kelas XII di saat orang berlari saya stagnan. Orang bilang ini kesempatan terakhir tapi saya lalai. Semangat belajar tidak ada. Hanya untuk biologi mungkin. Saya yang berstandar tinggi perlahan lahan menurunkan standar saya. Sampai saya dulu berfikir menggapai mimpi itu ada limitnya. Konsep yang salah sebenarnya. Karena “limit” disitu abstrak dan relatif. Tapi itu yang saya pegang dulu. Saya tidak berani SBMPTN. Sama sekali tidak berani. Saya memilih jalur aman dan melepaskan apa yg pernah saya perjuangkan. Saya menerima diri saya yang tak ubahnya dari seorang pengecut. Saya maki diri saya tiap hari. Tapi ya gak ada gunanya.


Dan tentu orang tua saya sangat kecewa.


Meskipun tak pernah berusaha untuk mengatakan, namun jelas nampak dari ekspresi mereka. Ya saya tahu. Namun mereka tidak memaksakan apa pun. Akhirnya saya melabuhkan pilihan di Farmasi UI dengan banyak sekali pertimbangan (yang tidak bisa saya jabarkan di sini maaf) yang saya pikirkan sendiri dan saya ikhlas. Padahal impian dokter sudah saya pegang bertahun-tahun sampai kelas XI kemarin. Saya pernah sekokoh itu memperjuangkan dan akhirnya tiba di titik yang serapuh ini. Jujur sebenarnya harapan orang tua saya sangat besar kepada saya. Tapi yang saya lakukan hanya menutup telinga dan hati saya. Bukan saya tidak mau, hanya tidak ingin mengambil risiko. Saya takut. Saya malu. Itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar