Maaf kalo saya bawa flashback
dulu ke masa masa sekolah saya.
Saya adalah anak yang kuper pas kelas X dulu. Saya lebih
suka makan bekel di kelas waktu istirahat atau beli danusan DKM daripada harus
jajan di kantin yang pengap dan bau hahaha.Saya hanya ikut 2 ekstrakurikuler
yang masih aja saya gabutin. Di akhir-akhir baru masuk DKM. HP saya masih
stupidphone or lemotphone yang susah buka internet. Alhasil saya jadi rajin
belajar karena tidak ada distraksi dari mana mana hahaha. Saya juga gak les,
jadi bisa dipastikan teman teman saya hanya itu itu saja. Banyak yang tidak
tahu saya ada di smansa. Sampe dikira anak pindahan... sedih emang L
Saat kelas XI, saya kecemplung di IPA 4 yang isinya anak
populer semua. Saya hanya butiran debu di sini ahaha lebay. Saya sadar ke mana
aja saya 1 tahun kemarin kok lebih banyak gak tahunya dibanding tahunya. Mulailah
saya mengenal banyak orang dan lebih open-minded.
Ternyata seru juga. Saya pilih tempat les yang teman-teman dekat saya gak ada
di sana selain karena kemakan brosur sih. Inisial tempat lesnya US. HAHAHA
cacit. Demi mencari kenalan baru. Bener-bener nekat. Ternyata isinya ngaco
semua. Haha canda kok.
Nah di sini awal mula saya ketagihan organisasi. Karena ini hal baru,
saya sebegitu excitednya sampai rapor semester 3 saya jeblok
sejeblok-jebloknya. Semester 4 saya mencoba membalik keadaan meskipun membaik
namun masih jauh dari standar saya. Saya merasa ini jauh dari kata memuaskan.
Meskipun begitu, saya tidak pernah menyesal bergabung organisasi ini justru
sebaliknya sangat bersyukur.
Sampai kelas XII di saat orang berlari saya stagnan. Orang bilang ini kesempatan
terakhir tapi saya lalai. Semangat belajar tidak ada. Hanya untuk biologi
mungkin. Saya yang berstandar tinggi perlahan lahan menurunkan standar saya. Sampai
saya dulu berfikir menggapai mimpi itu ada limitnya. Konsep yang salah
sebenarnya. Karena “limit” disitu abstrak dan relatif. Tapi itu yang saya
pegang dulu. Saya tidak berani SBMPTN. Sama sekali tidak berani. Saya memilih
jalur aman dan melepaskan apa yg pernah saya perjuangkan. Saya menerima diri
saya yang tak ubahnya dari seorang pengecut. Saya maki diri saya tiap hari. Tapi
ya gak ada gunanya.
Dan tentu orang tua saya sangat kecewa.
Meskipun tak pernah berusaha untuk mengatakan, namun jelas
nampak dari ekspresi mereka. Ya saya tahu. Namun mereka tidak memaksakan apa pun.
Akhirnya saya melabuhkan pilihan di Farmasi UI dengan banyak sekali pertimbangan
(yang tidak bisa saya jabarkan di sini maaf) yang saya pikirkan sendiri dan
saya ikhlas. Padahal impian dokter sudah saya pegang bertahun-tahun sampai kelas XI kemarin. Saya pernah sekokoh itu memperjuangkan dan akhirnya tiba di
titik yang serapuh ini. Jujur sebenarnya harapan orang tua saya sangat besar
kepada saya. Tapi yang saya lakukan hanya menutup telinga dan hati saya. Bukan
saya tidak mau, hanya tidak ingin mengambil risiko. Saya takut. Saya malu. Itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar